Pembelajaran matematika
realistik merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori
pembelajaran matematika realistik pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan
di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Pendekatan ini mengacu
pada pendapat Freudenthal (Gravemaijer, 1994) yang berpendapat bahwa matematika
merupakan aktivitas manusia, sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk
melakukan reinvent (menemukan
kembali) terhadap objek-objek matematika dengan bimbingan guru. Kegiatan ini
dapat dilakukan bila materi matematika yang dipelajari bertitik tolak dari
situasi dunia nyata atau sesuai dengan konteks fikiran siswa (realistik). Siswa
dipandang sebagai pemroses informasi yang aktif, sehingga mereka mampu
merepresentasikan setiap informasi sesuai dengan tingkat pengetahuan yang
dimiliki, dan menjadikannya sebagai struktur representase pengetahuan yang
disimpannya dalam memori (Davis, 1996).
Pendekatan Matematika
realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME) yang artinya Pendidikan Matematika Realistik, secara
operasional disebut dengan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu
pendekatan yang mengacu kepada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa
matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas
manusia. Matematika sebagai aktivitas manusia maksudnya, manusia harus diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika.
Dalam RME, proses pengembangan konsep-konsep dan gagasan matematika bermula
dari dunia nyata. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat
mata, namun juga termasuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak (Hobri, 2008
: 156).
Freudenthal (dalam
Johar, 2001:7) menambahkan bahwa pendidikan matematika untuk anak (young children) berkaitan dengan semua realitas
dalam kehidupan sehari-hari. Perlu ditegaskan bahwa masalah realistik yang
dihadapkan pada siswa tidak hanya berkaitan dengan dunia nyata yang dapat
diamati, tetapi dapat juga berupa masalah dunia formal matematika yang dapat
dipahami dan dibayangkan oleh siswa yang melalui media pembelajaran atau model (Heuvel-Panhuizen
dalam Johar, 2001:7). Dengan kata lain, tekanan pembelajaran realistik adalah
membuat sesuatu menjadi nyata dalam benak siswa. Oleh karena itu, situasi
masalah yang diberikan kepada siswa harus mempunyai konteks atau kaitan dengan
kehidupan sehari-hari yang dipahami siswa.
Menurut Soedjadi
(2001:2), matematika realistik adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang
dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga
tujuan pendidikan dapat tercapai. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan yang
dimaksud dengan realita adalah hal- hal nyata atau konkrit yang dapat diamati
atau dipahami siswa lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan
lingkungan adalah lingkungan tempat siswa berada baik lingkungan sekolah,
keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami siswa.
Gravemeijer (dalam
Djamali, 2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip utama dalam
pembelajaran matematika realistik, yaitu :
1) Guided reinvention / progressive
mathematizing (penemuan kembali), melalui topik-topik
yang disajikan siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami sendiri proses
yang sama sebagaimana konsep matematika ditemukan.
2) Didactical phenomenology
(fenomena mendidik), topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya
serta kontribusinya untuk pengembangan konsep-konsep matematika selanjutnya.
3) Self-developed models
(mengembangkan model sendiri), merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real
ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Dalam
menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan utnuk membangun
sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan.
Adapun menurut
pandangan konstruktivis pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika dengan kemampuan
sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai
fasilitator. Dalam pembelajaran matematika guru memang harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan kemampuan
siswa sendiri dan guru terus memantau atau mengarahkan siswa dalam pembelajaran
walaupun siswa sendiri yang akan menemukan konsep-konsep matematika, setidaknya
guru harus terus mendampingi siswa dalam pembelajaran matematika.
0 comments:
Post a Comment